Itu adalah argumentasi yang telah sering didengungkan ketika UU Pornografi tengah dirancang oleh DPR dan sempat menimbulkan pro & kontra di kalangan masyarakat. Bahkan masyarakat Bali akan membawa masalah ini ke MK dengan Gubernur-nya saat itu menolak secara tegas UU ini, termasuk Papua Barat.
Dan jangan memotong definisi yang telah diatur secara jelas oleh Pasal 1 (1) UU No.44 Tahun 2008.
Argumentasi di atas terlalu luas maknanya jika tanpa disertai contoh film/gambar/lukisan telanjang apakah yang sedang kita tinjau. Saya belum pernah dengar ada film, gambar, atau lukisan seni telanjang yang diproduksi oleh orang Indonesia akhir-akhir ini.
Namun dari unsur pembentuk definisi pornografi bisa diambil 3 kata kunci;
Berikut akan saya jelaskan masing-masing unsur yang harus dipenuhi untuk sebuah media/perbuatan dapat dikatakan pornografi;
Unsur kecabulan
- Apakah film/gambar/lukisan tersebut mengandung perbuatan menyentuh, memasukkan, meraba, mencium, memegang atau melakukan perbuatan tidak senonoh secara paksa tanpa adanya "consent" dari pihak yang merasa dirugikan?
- Apakah film/gambar/lukisan tersebut memuat subjek hukum dibawah umur (anak-anak dibawah 17 tahun)?
Secara umum, pencabulan adalah tindakan dimana orang dewasa berhubungan layaknya sebagai suami istri terhadap anak dibawah umur dengan jenis kelamin berbeda.
Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 jelas menjelaskan apa itu cabul (kecabulan) dan konsekuensinya
Unsur eskploitasi seksual
- Apakah film/gambar/lukisan tersebut mengandung perbuatan menampilkan dengan eksplisit organ-organ seksual manusia dengan sengaja untuk menimbulkan birahi (masturbasi, fetish, dll)?
- Apakah film/gambar/lukisan tersebut menampilkan perbuatan bersenggema dengan penetrasi ***** ke ****** secara sengaja?
- Apakah film/gambar/lukisan tersebut mengandung adegan/peristiwa perbuatan seksual dengan maksud tertentu untuk membuat penonton/pembaca/pendengar mendapatkan kepuasan seksual?
Unsur norma kesusilaan
Unsur ini harus diakui sangat subjektif dan luas sekali pemahamannya namun saya akan memberikan "insight" kepada Pak
@UNMETERED bagaimana norma kesusilaan dalam masyarakat itu dapat berlaku;
"Apakah Pak Unmetered berkenan mengajak keluarga (istri, anak, orang tua) untuk menonton, melihat atau mendengar film/gambar/lukisan seni telanjang tersebut?"
Jika jawabannya Tidak, berarti hal tersebut tidak sesuai dengan norma kesusilaan namun jika jawabannya Ya berarti itu masih dalam norma kesusilaan bermasyarakat dalam waktu dan tempat tertentu.
Jawaban saya Tidak termasuk pornografi. Apakah tayangan video di atas mengandung kecabulan, eksploitasi seksual dan norma kesusilaan dalam bermasayarakat? Tidak!
Jadi jika film/gambar/lukisan yang anda maksud tidak mengandung apa yang termaktub dalam unsur pembentuk frasa kata cabul, eksploitasi seksual dan norma kesusilaan di atas maka itu tidak termasuk pornografi.
Harap dibedakan sekali lagi antara pornografi dan lingkup kearifan budaya Indonesia. Masalah budaya masyarakat Bali tempo dulu yang topless tidak mengenakan baju adalah sebuah tradisi dimana hal tersebut pernah lumrah terjadi di Bali dan seluruh masyrakat Bali melihat hal tersebut adalah bagian dari sejarah mereka, sama seperti koteka bagi masyarakat Papua.
UU No. 44 Tahun 2008 mengenai Pornografi tidak pernah membatasi atau melarang sedikitpun mengenai kearifan budaya yang ada di Indonesia ini. Saya juga yakin tidak ada satupun budaya di Indonesia yang mempertontonkan perbuatan seksual secara eksplisit sebagai hal yang lumrah.