bisa tolong disebutkan hadis diriwayatkan oleh siapa, melalui jalur siapa, drajat hadisnya apa shohih/hasan/dhoif dan ada di Kitab apa?
kalau memang ada akan saya cari, sampai saat ini saya belum menemukan hadis yang Anda bicarakan.... tolong ngga usah bawa2 hadis Nabi untuk masalah hal seperti ini,
https://kaahil.wordpress.com/2010/0...h-sabda-rasulullah-ataupun-kaidah-ushul-fiqh/
lama2 ini orang beneran bikin rusuh di sini...
MAAF JIKA PEMBAHASAN AGAK KELUAR DARI TOPIK
Sebentar sobat, memang ungkapan "
Jangan lihat siapa yang bicara, tapi lihat apa yang dibicarakan" saya meralat itu bukan hadits ( maaf jika salah ketik ), Ungkapan ini sangat populer dikalangan Umat Islam.
Begitu juga ‘Aliy bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu yang berkata :
إِنَّ اْلحَقَّ لاَ يُعْرَفُ بِالرِّجَالِ, اِعْرِفِ اْلحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ
“Sesungguhnya kebenaran itu tidak dikenali dengan melihat orangnya, namun kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenali ahlinya”.
Namun,
menurut ilmu ushul fiqh itu termasuk kategori "
Ihtisan " dalam dasar islam, dan mempunyai kekuatan hukum.
Istihsan adalah salah satu cara atau sumber dalam mengambil hukum Islam. Berbeda dengan Al-Quran, Hadits, Ijma` dan Qiyas yang kedudukannya sudah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum Islam,
istihsan adalah salah satu metodologi yang digunakan hanya oleh sebagian ulama saja, tidak semuanya.
istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara`.
Jadi singkatnya,
istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Al-Imam Asy-Syafi`i dalam mazhabnya termasuk kalangan ulama yang tidak menerima
istihsan dalam merujuk sumber-sumber syariah Islam. Sebaliknya,
Al-Imam Abu Hanifah justru menggunakannya. samping
madzhab Hanafi, termasuk sebagian
madzhab Maliki dan
madzhab Hambali.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi`i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara` dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara` yang umum."
Yang menentang
istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi`i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Memang Imam Syafi`i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara` berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara` hanyalah Allah SWT." Dalam buku
Risalah Ushuliyahkarangan beliau, dinyatakan, "Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Ka`bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara` untuk menentukan arah Ka`bah itu."
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi`i.
Mohon dikoreksi jika saya salah